Minggu, 26 September 2010

╚╚ Pemberian yang Tulus╚╚


Ketika masih remaja, mungkin waktu itu berumur sekitar 13 tahun, aku memperoleh pelajaran yang sangat berharga dari ibuku. Pelajaran yang takkan terlupakan! Pada suatu hari, ketika kami sedang berada di sebuah toko kecil, aku melihat tiga orang masuk. Tampaknya mereka sekeluarga terdiri atas seorang ibu, anak dan cucunya yang kedua-duanya perempuan. Penampilan mereka rapi. Tapi, dari pakaian yang sudah usang tampak bahwa hidup mereka tidak bisa dibilang berkecukupan. Mereka berkeliling toko sambil membawa kereta belanja. Dengan seksama mereka memilih barang-barang belanjaan yang pada umumnya tanpa merek serta bahan pangan yang diperlukan.
Ketika selesai berbelanja, kami menuju ke tempat kasir untuk membayar. Ternyata ketiga orang itu sudah lebih dulu sampai di sana. Ada seorang pembeli lain yang menunggu giliran membayar. Pembeli itu berdiri di belakang mereka dan di depan kami. Sementara aku memperhatikan keluarga itu meletakkan belanjaan mereka satu demi satu di depan kasir, aku mendengar wanita yang paling tua setiap kali menanyakan sudah berapa jumlah yang harus dibayar, karena uang mereka mungkin tidak cukup untuk membayar semuanya. Proses itu memakan waktu, dan orang yang menunggu giliran di depanku tampak mulai tidak sabar dan bahkan menggumamkan kata-kata yang aku yakin pasti terdengar oleh ketiga wanita itu.
Ketika kasir menjumlahkan semuanya, ternyata uang mereka memang tidak cukup, sehingga wanita yang paling tua lantas menunjuk berbagai bahan pangan yang terpaksa dikembalikan. Ibuku mengambil dompetnya, mengeluarkan selembar uang dua puluh dolar dan menyodorkannya kepada wanita itu. Wanita itu sangat kaget lalu berkata, ”Saya tidak bisa menerimanya!” Ibuku menatapnya dan berkata dengan pelan, “ Kenapa tidak? Bisa saja, anggap saja ini hadiah. Tidak ada sesuatu pun dalam kereta belanja itu yang tidak benar-benar Anda perlukan, jadi saya harap Anda sudi menerimanya.” Setelah mendengar kata-kata ibuku, wanita itu menerima uang yang disodorkan itu. Digenggamnya tangan Ibu sesaat dan dengan air mata berlinang-linang, ia berkata, “Banyak terima kasih. Baru sekali ini aku melihat ada orang yang murah hati seperti Anda.”
Aku masih ingat bahwa kemudian aku meninggalkan toko itu dengan mata berkaca-kaca. Kejadian itu akan senantiasa membekas dalam hati sanubariku. Masalahnya, orangtuaku harus membesarkan enam anak dan uang mereka sendiri tidak bisa dibilang banyak, meski sepanjang ingatanku kami tidak pernah mengalami kekurangan apa pun. Aku sangat behagia karena mewarisi sifat peduli ibuku. Aku juga pernah memberi dengan perasaan tulus, dan tidak ada perasaan lain yang lebih menyenangkan!
Dee M.Taylor

Senin, 20 September 2010

•••Ketabahan Yang Siap Pakai•••

Pada musim panas 1991, aku melihat di Irlandia bersama suamiku. Sebagaimana lazimnya wisatawan Amerika, tentu saja kami mengunjungi Puri Blarney. Dan dengan sendirinya jika kita mengunjungi Puri Blarney, kita mencium Batu Blarney. Nah, untuk bisa sampai di tempat Batu Blarney, terlebih dulu aku harus mendaki sejumlah anak tangga yang sempit. Sudah dari “sononya” aku takut berada di tempat yang tinggi dan terlebih-lebih lagi ruangan sempit. Karenanya aku menyuruh suamiku naik dulu sendiri kemudian memberitahukan apakah menurut dia aku mampu melakukannya atau tidak. Ketika ia sudah kembali, aku bertanya, “ Nah, bagaimana pendaaatmu? Mampukah aku, menurutmu?” sebelum suamiku sempat menjawab, dua wanita yang sudah berumur lanjut datang menghampiri dan berkata, “ Jika kami saja sanggup, Anda pasti juga mampu!” aku pun melakukannya, dan aku mencium Batu Blarney!

Sekitar satu bulan sekembali dari Irlandia, aku diberitahu bahwa aku mengidap penyakit kanker payudara. Aku memerlukan perawatan dan kemoterapi. Dokter yang menangani berkewajiban memberitahukan segala hal yang bisa terjadi padaku sebagai dampak samping kemoterapi. Ia mengatakan bahwa ada kemungkinan rambutku rontok. Ditambah muntah-muntah, mencret, demam tinggi, kejang rahang, dan sebagainya. Kemudian ia bertanya, “Anda sudah siap untuk mulai?” Siap? Setelah mendengar segala yang dipaparkannya itu?

Perasaanku menjadi semakin tidak menentu, sangat gelisah, dan ketakutan, ketika aku dengan ditemani suamiku duduk di ruang tunggu, menanti giliran untuk menjalani perawatan. Aku berpaling ke suamiku dan bertanya, ”Menurutmu, mampukah aku menjalaninya?” Berhadapan dengan kami, duduk dua wanita lanjut usia yang baru saja selesai menjalani kemoterapi. Suamiku menggenggam tanganku dan berkata, “Ini akan persis sama seperti ketika di Puri Blarney. Jika mereka berdua bisa, kau pasti mampu!” Dan ternyata memang begitu.

Tahukah apa yang benar-benar hebat tentang ketabahan? Ketabahan muncul apabila kita memerlukannya!

Maureen Corral

Sabtu, 18 September 2010

••Kata-kata Sederhana••

Bunga yang segar merupakan sesuatu yang indah. Aku mempunyai kebiasaan memetik mawar dan memberikan sebuket atau setangkai bunga yang berbentuk sempurna kepada salah seorang tetangga, teman atau kerabat.

Pada suatu pagi aku memetik sekuntum mawar bertangkai panjang yang indah dan wangi untukku sendiri. Sementara aku sedang berpikir tentang betapa menyenangkan mawar itu bagiku untuk dinikmati, ada suara tenang dan lembut di luar diriku yang mengatakan, Berikan kepada temanmu.

Aku langsung masuk ke rumah dan menata kuntum mawar itu dalam sebuah vas. Lalu aku menuliskan pesan sesingkat mungkin... Untuk temanku. Aku menyeberang jalan ke rumah tetangga yang merupakan salah seorang sahabat karibku, dan meletakkan karangan bunga itu di depan pintu rumahnya.

Siangnya sahabatku itu menelepon untuk mengucapkan terima kasih. Katanya, karangan bunga itu benar-benar merupakan karunia. Larut malam sebelumnya ia bertengkar dengan salah seorang anaknya. Para remaja kadang-kadang bisa kejam, tidak memedulikan perasaan orang lain. Anaknya itu berkata kepadanya, :Ibu takkan punya teman.”

Jadi, tetanggaku itu benar-benar terkejut dan sekaligus merasa bahagia ketika ia hendak pergi bekerja pagi itu dan menemukan bukan saja karunia berupa bunga indah, tetapi yang paling utama adalah secarik kertas kecil dengan pesan sederhana yang berbunyi, Untuk temanku”.

Roberta Tremblay

Jumat, 17 September 2010

Dia Bukan Ayah Tiriku!!!

Ibuku meninggal dunia ketika aku berumur delapan tahun. Kami semua sangat sedih. Enam bulan kemudian, ayahku berkenalan dengan Cathy. Cathy mempunyai dua anak Megan dan Griffin. Begitu berjumpa untuk pertama kali, aku langsung menyayangi mereka. Tetapi waktu itu aku belum tahu, betapa besar kasih sayangku itu.

Satu setengah tahun kemudian, ayahku menikahi Cathy. Mereka benar-benar saling mencintai. Ketika upacara pernikahan, aku sadar bahwa aku sangat sayang kepada Megan dan Griffin. Setelah itu, sampai akhirnya kami menemukan rumah baru yang cukup besar untuk menampung keluarga yang baru, kami tinggal berpindah-pindah antara rumah kami yang lama dan rumah Cathy.

Sementara itu berlangsung proses pembauran kedua keluarga menjadi satu keluarga baru. Pada suatu malam, kami berada di rumah Cathy dan anak-anak berbaris untuk memberi ciuman kepada Cathy. Griffin mendapat giliran paling belakang. Setelah anak lelaki itu mencium Cathy, ibunya mengatakan, “Grif, ciumlah ayah tirimu.”
Griffin sangat tersinggung dan mengatakan. “Dia bukan ayah tiriku! Dia benar-benar ayahku!”

Jayne Kelley

Kamis, 16 September 2010

^_" Pamit Tepat Waktu ^_"


Melihat penampilannya, orang akan menyangka bahwa ia itu gembel. Tetapi setelah mengenalnya dengan baik, barulah kita ketahui bahwa ia sesungguhnya berhati mulia. Kebiasaannya setiap hari adalah berjalan, kata yang lebih tepat adalah beringsut-ingsut ke kantor pialang saham untuk mengunjungi teman-temannya dan mengamati perkembangan investasinya. Setiap siang sekitar pukul dua, Billy selalu membuat kami tersenyum menyambut kedatangannya begitu ia muncul di ambang pintu. Topi petnya selalu terpasang miring, dan ia selalu memakai mentelnya yang sudah lusuh dan robek tidak peduli berapa pun suhu udara saat itu, dilengkapi dengan syal di musim dingin dan kemeja yang dikancingkan sampai leher di musim panas, yang tidak pernah ketinggalan adalah senyumnya (yang memamerkan deretan gigi yang berantakan).
Dia adalah pemimpin tidak resmi kali, juru bicara kami. Jika Billy mengatakan sesuatu hal adalah begini, maka begitulah halnya! Ketika itu kami adalah segelintir orang yang berkumpul setiap hari untuk memperhatikan catatan bursa saham dan menunggu kata-kata bijak harian dari Billy. Dengan logat asli London-nya serta kedipan matanya yang menenangkan, ia seakan-akan membuat segala-galanya beres, tidak peduli bagaimana perkembangan pasar saham saat itu atau betapa suramnya keadaan dalam kehidupan sehari-hari. Tahu-tahu, pada suatu hari segala-galanya menjadi kacau. Billy, sahabat kami yang berumur delapan puluh tahun, pemimpin kami, terserang kanker!
Sejak itu perkembangan investasinya bukan hal penting untuk diikuti. Urusan yang penting adalah Billy! Kesehatannya mundur dengan sangat cepat. Satu-satunya keluarganya yang masih hidup adalah seorang kakak perempuan, di Inggris. Karenanya, kamilah yang menjadi keluarganya. Beberapa orang di antara kami bergilir menajaganya di rumah sakit. Garry, sahabat dan konsultan keuangan Billy, hampir selalu ada disana. Kami tidak ingin membiarkan Bily berbaring seorang diri.
Pada suatu malam kami menyadari bahwa ajalnya sudah dekat. Aku menawarkan diri untuk menemani Garry menjaga Billy, tetapi Garry menyuruhku pulang dulu lalu menggantikannya menjaga keesokan harinya. 
Sekitar pukul lima pagi aku dan istriku terbangun mendengar pintu depan diketuk keras-keras. Aku bangun untuk melihat siapa yang datang, tetapi ternyata tidak ada siapa-siapa di luar. Pukul Sembilan Garry menelepon untuk memberitahu bahwa Billy sudah meninggal dunia. “ Pukul berapa?” tanyaku 
“Pukul lima pagi,” jawab Garry. Aku terpana. Hanya ada satu penjelasan bagi kami tentang siapa yang mengetuk pintu rumah kami pagi-pagi pukul lima. Itu adalah Billy yang pamit untuk terakhir kalinya.
Barry Spilchuk

Rabu, 15 September 2010

♠♠ Pasti Ada Lagi Sesuatu ♠♠

Beberapa waktu lalu aku diundang berlibur selama dua minggu di daerah perbukitan Santa Barbara yang indah, di California. Tepatnya bukan diundang, tetapi aku meminta kepada sepasan gsuami istri temanku apakah aku boleh meminjam rumah peristirahatan mereka selama aku menyelesaikan penulisan sebuah buku.
Tiga hari pertama aku meginap di sana benar-benar luar biasa, aku mengalami dua kejadian yang sangat istimewa. Yang pertama berupa hujan lebat yang tercurah dari langit selama tiga hari tanpa henti. Mulanya menyenagkan juga, ada hujan di kawasan yang biasanya jarang sekali mengalami hujan. Namun, setelah beberapa waktu, aku mulai berpikir-pikir apakah tidak sebaiknya aku membuat sebuah bahtera untuk menyelamatkan diri kalau sampai terjadi air bah.
Kejadian peristiwa kedua muncul dalam wujud seorang asisten. Setiap hari sekitar pukul dua belas Christopher, putra temanku, pulang dari taman kanak-kanak dan mendatangiku untuk menanyakan apakah aku memerlukan bantunnya. Pada hari ketiga, ketika hujan belum juga berhenti, ia bertanya apa sebabnya hujan terus saja turun. Aku memberi jawaban yang “asal bunyi”: Jika ada hujan, kadang-kadang itu berarti Tuhan sedang sedih dan karenanya menangis.” 

“Mungkin Dia menangis karena Hari Valentin sudah lewat,” kata peramal cilik berumur lima tahun itu. Dengan sikapnya yang selalu yakin, ia pergi ke luar dan di tengah hujan yang masih mengguyur ia mendongak dan berseru, “Jangan sedih, Tuhan. Hari Valentin memang sudah lewat, tapi sebentar kan ada Hari Paskah!”. Tidak lama kemudian hujan berhenti!

Barry Spilchuk

Selasa, 14 September 2010

Isyarat Marc...


Judy dan Jim kehinlangan Marc, putra mereka, lebih dari lima belas tahun yang lalu. Sama seperti sekian banyak orangtua, Jim dan Judy beranggapan sudah sewajarnya bahwa anak-anak mereka hidup lebih lama daripada mereka berdua. Namun, pada suatu hari Marc meninggal dunia secara tiba-tiba karena suatu penyakit yang sangat langka. Sebelumnya sama sekali tis\dak Nampak tanda-tanda bahwa ia sakit; karenanya, Judy dan Jim tidak sempat mengucapkan kata-kata perpisahan pada Marc dan mengatakan bahwa mereka sangat menyayanginya. Kematian yang terjadi secara tiba-tiba itu menyebabkan perasaan mereka remuk redam.
Sekian tahun kemudian, Jim dan Judy pergi berlibur ke Bermuda. Di sana mereka melihat sebuah patung indah yang sangat memikat hati mereka. Patung itu berwujud seorang anak lelaki yang duduk di bangku sambil membaca buku. Mereka sangat tertarik dan ingin memilikinya, tapi harganya terlalu tinggi dibandingkan dengan kemampuan keuangan mereka saat itu. Walau begitu nama dan alamat seniman yang menciptakannya dicatat juga oleh Jim.
Beberapa tahun kemudian. Jim hendak membeli patung itu untuk dihadiahkan sebagai kejutan bagi Judy pada ulang tahunnya yang kelima puluh. Jim menghubungi studio seniman pe,buatannya. Tetapi, pegawai yang menerima telepon mengatakan bahwa ia seniman hanya membuat sepuluh kopi dari patung itu. Satu-satunya kemungkinan membeli adalah jika si seniman mau menjual patung aslinya. Dengan sedih dikatakannya bahwa istrinya tidak mau melepaskan patung itu. Namun, ia berjanji akan menghubungi orang-orang yang membeli kopi patungnya. Siapa tahu, mungkin seniman itu berhasil menemukan seorang wanita di Inggris yang mau menjual patung miliknya kepada Jim.
Pada ulang tahun Judy yang kelima puluh, Jim memberikan hadiah kejutannya itu. Judy terpana, karena sedikit pun tidak menyangka akan mendapat patung yang mereka inginkan sekian tahun yang silam. Ketika mereka sedang duduk sambil mengaguminya, tiba-tiba mereka melihat sesuatu pada patung itu yang tidak mereka perhatikan sebelumnya. Sewaktu mereka mengamati buku yang dibaca anak lelaki itu, mereka melihat bahwa sebagai judulnya terukir tulisan, “Book Marc”-Injil Marjus. Tetapi nama ‘Markus’ tidak ditulis ‘Mark’ seperi lazimnya, melainkan M-A-R-C, sama dengan ejaan nama putra mereka yang meninggal dunia sekian tahun yang lalu. Meski Judy dan Jim berpendapat bahwa anak mereka itu sudah pergiuntuk selamanya, ternyata ia masih bisa menyampaikan rasa kasih saying kepada orangtuanya pada ulang taunibunya yang kelima puluh. Iaktan jasmani yang ada di antara kita bersifat lama. Hanya cinta yang bersifat kekal.
Denise Sasaki

Minggu, 12 September 2010

☻Surat Cinta dari Bapa☻

Aku sahabatmu,
Kemaren Aku melihat kamu lagi ngobrol sama teman-temanmu. 
Aku menunggu sepanjang hari dengan harapan kamu mau bercakap-cakap denganKu... 
Waktu senja tiba, Aku memberikan kepadamu matahari terbenam untk mengakhiri hari-harimu dan angin sepoi-sepoi untuk menenangkan hatimu. Aku terus menunggumu...
Tetapi... 
Kamu nggak datang lagi kepadaKu, 
Sungguh, ini sangat menyedihkan hatiKu, 
Namun Aku tetap mengasihi kamu karena Aku memang sahabatmu... 
Tadi malam, Aku melihatmu tertidur pulas, 
Aku ingin menyentuh dan mencium keningmu, 
Maka Aku memancarkan cahaya bulan keatas bantal dan wajahmu. 
Aku ingin berlari turun, agar kita dapat berbicara dari hati ke hati.. 
Aku punya banyak hadiah dan kejutan buat kamu!!!! 
Di pagi hari, kamu bangun terlambat dan buru-buru ke sekolah/kampus/kantor, 
Sekali lagi kamu tak menyempatkan diri untuk bercakap-cakap denganKu,
Air mataKu bercucuran, 
Tapi Aku selalu menyertaimu, terbukti kamu selamat sampai ke sekolah/kampus/kantor dan kamu dpat menyelesaikan tugas-tugas sekolah/kampus/kantor mu..... 
Percayalah, 
Aku tetap mengasihimu! 
Terkadang, jika kamu dalam masalah besar dan bersedih, 
Aku pun turut merasakannya.
Oh, kalau saja kamu mau membicarakanya denganKu dan mendengarkan nasehat-nasehatKu melalui teman-temanmu yang Aku pilih.
Masalahmu mungkin besar, tetapi kuasaKu dan cintaKu jauh lebih besar dari semua itu. 
Aku tahu, betapa sulitnya hidup di dunia ini, 
Aku sungguh-sungguh tahu karena Aku juga telah mengalaminya. 
Dan Aku ingin sekali membantumu melalui Ibrani 2:18. 
Aku juga ingin kau bertemu dengan BapaKu, 
Ia juga ingin membantu kamu, 
Kamu dapat memanggilKu dan berbicara denganKu setiap waktu. 
Aku selalu medengarkanmu...

Ohh... 
Janganlah melupakanKu, 
Tetapi itu semua teserah kamu,
Itu adalah keputusanmu. 
Ketahuilah... 
Aku tetap memilih kamu jauh sebelum dunia dibentuk.. 
Oleh karena itu, 
Aku akan menunggu kamu sampai kamu datang kepadaKu, 
karena Aku adalah sahabatmu yang sejati dan selalu  mencintaimu....  
Dari sahabat yang mengasihimu...

Sabtu, 11 September 2010

♦•♦• Ayahku •♦•♦

Sudah begitu banyak yang diberikan ayahku kepadaku, dengan berbagai cara, dan kini aku ingin memberikan sesuatu baginya. Bagaimana kalau mendali emas kejuaraan lari 100 meter dalam Olimpiade 1984? Menurutku, itu yang paling sesuai untuk diberikan kepadanya, sebagai lambang segala hal menyenangkan yang kami lakukan bersama-sama, segala kebajikan yang kualami berkat dia.

Sebelum itu, tidak pernah kukeluarkan medali-medaliku dari tempat penyimpanannya di bank. Tetapi hari itu, dalam perjalanan ke bandar udara, aku mampir di bank untuk mengambil medaliku itu yang kemudian kumasukkan ke dalam saku jasku. Aku membawanya ke New Jersey untuk Ayah.
Pada hari pemakaman, saat keluarga kami memberikan panghormatan terakhir, aku mengeluarkan medali itu untuk meletakkannya di tangan Ayah. 

Ibuku bertanya apakah aku yakin hendak menguburkannya bersama jenazah Ayah. Kujawab bahwa aku yakin. Medaliku itu kurelakan menjadi milik Ayah untuk selama-lamanya. “ Tetapi aku akan mendapat gantinya,” kataku kepada ibuku. Lalu aku berpaling ke arah ayahku dan berkata lagi, “Tenang sajalah, aku akan mendapat satu lagi.” Itu merupakan janji pada diriku sendiri dan kepada Ayah. Kulihat ia berbaring dengan begitu damai, dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Ketika keletakkan medaliku di tangannya, ternyata pas sekali.

Carl Lewis

Jumat, 10 September 2010

♥♥ Aku Sangat Mencintainya ♥♥


Pendeta sudah hampir selesai membacakan doa pada upacara pemakaman. Tiba-tiba pria berumur 78 tahun yang istrinya, teman hidupnya selama lima puluh tahun meninggal dunia dan baru saja dimakamkan berseru dengan sedih. “Aduh, aduh, betapa besarnya cintaku kepadanya!” Ratapannya itu terasa menggangu ketenangan upacara yang berlangsung khusyuk itu. Para anggota keluarga dan teman-teman yang berdiri di sekeliling makam tampak kaget dan binggung karenanya.

Anak-anak pria itu, yang semua sudah dewasa, berusaha menenangkannya. “Sudahlah Ayah, kami mengerti. Sudah, tenanglah.” Pria lansia itu menatap peti mati yang dengan perlahan-lahan diturunkan ke dalam liang makam, sementara pendeta mengakhiri doa. Setelah selesai, sanak keluarga dipersilahkan menaburkan tanah ke atas peti mati sebagai tanda bahwa maut merupakan akhir yang pasti. Hadirin secara bergilir melakukannya, kecuali pria lansia itu. “Ya ampun, aku sangat mencintainya!” ratapnya dengan suara keras. Ketiga anaknya berusaha lagi menenangkannya, tetapi ia terus beratap,”Aku mencintainya!”
Ketika para pelayat mulai beranjak hendak pergi, pria itu tetap saja berdiri di tempat semula sambil menatap ke dalam liang. Kini pendeta menghampirinya,”Saya tahu bagaimana perasaan Anda, tetapi kini sudah waktunya pergi. Kita semua harus pergi dari sini dan meneruskan kehidupan kita.” 
“Aduh, betapa besar cintaku kepadanya!” keluh pria malang itu dengan sedih. “Anda tidak mengerti,” ujarnya kepada pendeta. “Saya pernah sekali hendak mengucapkannya kepadanya”.

Hannoch McCarry, Ed. D. 



Kamis, 09 September 2010

►SaLah Sambung►


Ibuku meninggal dunia belum lama berselang, setelah hampir setahun keadaan penyakitnya berubah-ubah terus. Kehidupannya hampa sejak Ayah meninggal dunia. Tetapi tahun yang terakhir itu benar-benar berat baginya. Bagi ibuku, Marge, hidup tidak ada artinya lagi tanpa George, suaminya. Tidak ada teman hidup, lawan untuk bertengkar, teman bercanda, tidak ada lagi seseorang untuk dicintai. Memang, masih ada kami, tetapi baginya kehidupan tidak lagi seperti dulu, tanpa Ayah. Kami bisa memahaminya.
Di rumah sakit, tiba-tiba kondisi Ibu sangat menurun. Saudara perempuanku, Betsy, diberitahu. Ia bergegas pergi dari tempat kerjanya, lengsung ke rumah sakit. Sebelumnya ia masih sempat buru-buru mengirim pesan kepada suaminya, Andy. Andy berusaha menghubungi Betsy di rumah. Tetapi karena di rumah tidak ada yang menerima, ia lantas menelepon langsung ke rumah sakit. Andy tahu bahwa Ibu berbaring di lantai tujuh. Ia berusaha mengingat-ingat nomor kamarnya. 7226? 7626? 7662? Akhirnya ia menghubungi operator telepon di rumah sakit untuk minta dihubungkan. Dikatakannya bahwa ia ingin bicara dengan Marge Mueth. Diejanya nama Ibu: “M-U-E-T-H”. “Dia berbaring di kamar 3643,” kata operator itu.” Sebentar, saya sambungkan.”
Andy tidak bisa mengerti, apa sebabnya Ibu dipindahkan ke kamar lain. Andy mendengar suara pria menjawab setelah operator menyambungkan. Andy bertambah bingung, karena tidak mengenali suara itu. Ia menarik kesimpulan bahwa operator tadi salah sambung. “Maaf,” katanya, “rupanya salah sambung. Saya hendak menghubungi keluarga Mueth.” Pria itu menjawab, “Anda sudah benar. Ini George yang berbicara.” Andy kaget setengah mati. “Tidak, rasanya saya keliru disambungkan ke kamar lain. Saya mencari Marge Mueth.” Ketika menjawab, suara pria di seberang sambungan itu terdengar riang gembira. ”Itu istri saya. Saya kemari untuk menjemput pulang.”
Andy meletakkan gagang telepon dengan perasaan heran. Ia menelepon operator sekali lagi dan minta dihubungkan dengan Marge Mueth, di lantai tujuh. Operator menghubungkannya dengan kamar 7226. Betsy yang menjawab ketika telepon berdering di kamar Ibu. 

Billy, anak saudaraku itu, menyimpulkan kejadian itu dengan kepolosan dan kearifan seorang anak:Kakek datang kemari untuk menjemput Nenek pulang.” Betsy hanya menangis dan bertanya pada diri sendiri mengapa begitu lama “Kakek” baru datang.
Lin Hardick

Rabu, 08 September 2010

--Ku-“dengar” Kasih Sayangnya--


Sepanjang hidupku, semasa pertumbuhanku menjadi dewasa, aku tidak pernah mendengar ayahku mengucapkan kata-kata “Aku sayang padamu”. Apabila seorang ayah tidak pernah mengucapkannya sewaktu anaknya masih kecil, maka dengan bertambahnya usia si ayah akan semakin sulit saja baginya untuk mengatakannya. Terus terang saja, aku benar-benar tidak ingat kapan terakhir kalinya aku mengucapkan kata-kata itu kepadanya. Karenanya, pada suatu kali aku memutuskan untuk meyingkirkan perasaan gengsi dan melakukan langkah pertama. Dalam percakapanku dengan ayahku yang berikut melalui telepon, setelah agak sangsi sejenak, aku mengucapkannya, “Ayah...aku sayang padamu!”
Sejenak tak terdengar apa-apa, lalu Ayah menjawab dengan kikuk, “Yah, sama-samalah!” Sambil tertawa geli kukatakan, “Ayah, aku tahu Ayah sayang padaku, dan aku juga tahu bahwa jika Ayah merasa sudah sanggup, Ayah akan mengucapkan apa yang hendak Ayah katakan.” Lima belas menit kemudian ibuku menelepon. Ia bertanya dengan nada gelisah, “Kau baik-baik saja kan, Paul!”
Beberapa minggu setelah itu, Ayah mengakhiri percakapan kami melalui telepon dengan kata-kata “Paul, aku sayang padamu.” Saat itu aku sedang bekerja. Air mataku menetes ketika akhirnya aku “mendengar” kasih sayang Ayah. Sementara sama-sama menangis, kami berdua menyadari bahwa saat istimewa ini telah menjunjung hubungan ayah dan anak ke suatu tingkat yang baru.
Tidak lama setelah saat istimewa itu, ayahku menjalani operasi jantung yang nyaris saja merenggut nyawanya. Sejak itu aku sering merenung: Andai saja aku tidak memulai dan Ayah meninggal dunia setelah dioperasi, aku takkan pernah bisa “mendengar” kasih sayangnya.
Paul Barton

Selasa, 07 September 2010

...Menomboki Penawaran...

Seorang anak lelaki datang ke lelang sepeda yang diselenggarakan di kantor polisi. Sepeda-sepeda yang dilelang adalah yang ditemukan di jalan dan tidak ada yang datang untuk mengakuinya sebagai pemilik.

Setiap kali juru lelang membuka penawaran baru, anak itu berkata, “Saya menawar satu dolar, Pak.” Tetapi ada orang yang menawarkan lebih tinggi, sehingga akhirnya setiap sepeda yang dilelang jatuh ke tangan orang yang menawar dengan harga tertinggi. Dan setiap kali, anak itu selalu ikut menawar satu dolar. Ketika sepeda terakhir yang akan dilelang dibawa ke depan, anak itu berseru, “Saya menawar satu dolar, Pak.” Penawaran naik terus dan akhirnya juru lelang mengetukkan palu pada tawaran harga sembilan dolar. Ia menunjuk ke arah anak lelaki itu yang duduk di barisan paling depan, sebagai isyarat bahwa anak itulah pemenangnya.

Kemudian juru lelang merogoh sakunya, mengambil uang sebanyak delapan dolar dan meletakannya di atas meja. Anak itu maju, meletakkan satu dolarnya dalam bentuk recehan di samping delapan dolar tadi, mengambil sepeda barunya lalu berbalik hendak ke luar. Tiba-tiba diletakkannya sepeda, lalu berbalik dan lari mendatangi juru lelang. Dirangkulnya orang itu lalu ia menangis.

Elder Featherstone


Senin, 06 September 2010

▐▐▐ Balas Budi▐▐▐

Akhir pekan itu aku tinggal di rumah, menemani Ibu. Ia merasa kurang enak badan, dan memerlukan bantuan. Ayah bekerja paruh waktu, dan dengan bantuan teman-teman serta sanak saudara, ia menangani urusan perawatan Ibu. Akhir pekan itu Ayah bercerita kepadaku tentang seorang wanita yang suka menolong orang. Tetapi pertama Anda perlu tahu sedikit tentang keluarga kami pada waktu aku masih remaja.

Orangtuaku berpandangan bahwa sebanyak mungkin ank-anak merka (kami berdelapan) perlu mengenal dunia luar. Tiga dari kami pernah ikut dalam program pertukaran siswa (ke Australia, Brazil, dan Belanda). Mungkin Anda berpendapat bahwa itu cara orangtua kami untuk meringankan beban anggaran belanja keluarga. Tetapi, pada saat kami sedang ada di luar negeri, mereka mengundang untuk tinggal di rumah. Ibu merasa lebih mudah menambahkan satu atau dua anak di rumah kami daripada menambahkan satu atau dua anak di rumah keluarga lain.

Sekarang Ibu sudah tidak melakukan kegiatan seperti itu lagi. Ia sudah sulit bergerak karena uzur. Beberapa suadara lelakiku membuatkan kamar mandi dengan pancuran untuknya di lantai bawah. Seminggu sekali pegawai bernama Beth datang ke rumah untuk membantu Ibu mandi. Belum lama ini Ayah mengucapkan terima kasih kepada perawat itu atas kesediaannya datang. Secara halus juga ditanyakan mengapa perawat itu begitu rela menolong Ibu. Beth menjawab, “Ah, saya rasa Anda pasti tidak ingat lagi. Saya ini ‘siswa pertukaran’ dari William Street yang pernah Anda tampung. Sewaktu baru saja lahir, Anda berdua menampung saya selama empat bulan, selama ibu saya sakit. Senang rasanya, bisa membalas budi Anda berdua.”

Mike Lynott