Sabtu, 04 September 2010

öö Kartu Nama öö

Dave, saudara lelakiku, sangat dekat dengan nenek kami. Mereka sama-sama pecinta alam dan menyukai bahan pangan hasil tanaman mereka sendiri. Jika ada waktu, Dave biasa mampir sebentar untuk minum kopi di rumah Nenek. Pada suatu hari ia mampir lagi. Ternyata tidak ada orang di rumah. Sebelum pergi diletakannya segumpal tanah di lantai teras depan. Itu merupakan awal dari apa yang selanjutnya dikenal sebagai “kartu nama” Dave. Jika Nenek pulang dari salah satu tempat dan melihat ada gumpalan tanah di lantai teras, ia langsung tahu bahwa Dave tadi mampir.    
Meski berasal dari keluarga miskin semasa kecilnya di Italia, Nenek kemudian hidup berkecukupan di Amerika Serikat. Ia senantiasa berada dalam kondisi sehat. Ia biasa mandiri dan menikmati kehidupan yang memuaskan. Belum lama berselang ia meninggal dunia setelah terserang stroke. Semua orang berduka atas kematiannya. Apalagi Dave, sehabatnya sejak kecil kini tidak ada lagi.
Di pemakaman Nenek, aku dan Dave ikut bersama para cucu lainnya sebagai pengusung jenazah. Setiba di makam, kami diinstruksikan untuk meletakkan sarung tangan putih kami serta bunga anyelir putih yang tercantum pada kerah jas kami selama upacara pemakaman di atas peti jenazah Nenek. Seorang demi seorang, para cucu menyampaikan penghormatan terakhir. Giliran Dave lebih dulu dari aku. Ketika ia menghampiri peti jenazah Nenek, kulihat dia cepat-cepat membungkuk untuk memungut Nenek, kulihat dia cepat-cepat untuk memungut sesuatu. Aku tidak bisa melihat apa yang diambilnya itu. Ketika giliranku tiba dan aku menghampiri peti jenazah untuk meletakkan sarung tangan dan bunga anyelirku di samping sarung tangan dan anyelir yang tadi diletakkan Dave, tahu-tahu mataku sudah berkaca-kaca ketika aku menatap gumpalan tanah yang terletak di atas peti jenazah Nenek. Dave meninggalkan “kartu nama:-nya untuk terakhir kalinya.
Steve Kendall