Suatu hari, datanglah seorang pengemis tua dengan pakaian lusuh ke sebuah kedai kue untuk membeli kue manju (kue yang asalnya dari Jepang). Melihat penampilan si pengemis itu, pelayan toko agak sinis meladeninya. Maka, ia buru-buru membungkus manju itu. Tapi belum senpat ia menyerahkan kue itu kepada si pengemis, muncullah si pemilik kedai, “Tunggu, biar saya saja yang menyerahkannya.” Pemilik kedai bukan hanya melayani si pengemis dengan ramah, ia bahkan berkata, “Terima kasih atas kunjungan Bapak.
Setelah si pengemis berlalu, si pelayan bertanya kepada tuannya, “Mengapa harus Tuan sendiri yang menyerahkan kue itu? Padahal selama ini Tuan belum pernah melakukan hal seperti itu pada pelanggan manapun. Selama ini, selalu saya yang melayani pembeli.” Si pemilik kedai itu berkata, “Saya mengerti mengapa kau heran. Tapi semestinya kita bersyukur atas kedatangan pelanggan istimewa tadi. Hampir semua dari pelanggan kita adalah orang berduit. Bagi mereka, membeli kue di tempat kita merupakan hal biasa. Tapi orang tadi pasti sudah begitu merindukan manju kita sehingga mungkin ia sudah berkorban dan bekerja keras demi mendapatkan uang untuk membeli manju kita. Karena itu saya berpikir bahwa ia layak dilayani oleh saya sendiri.
Firman-Nya selalu mengingatkan kita bahwa janganlah kita memandang muka. Artinya jangan kita membeda-bedakan orang yang satu dengan yang lain. Setiap orang berhak mendapatkan penghargaan yang sama. Bila selama ini kita hanya mau bergaul dengan teman yang seiman, yang berduit, yang pinter dan memandang sebelah mata orang-orang yang kita anggap tidak selevel dengan kita, mari ubah sikap itu. Tak seorang pun yang ingin dipandang sinis atau dilayani dengan setengah hati. Jadi, kalau kita saja tidak tidak ingin diperlakukan seperti itu, maka rasanya tidak patutlah kita memperlakukan orang lain secara demikian. Sebaliknya, jikalau kita ingin dihargai, dipandang layak, diterima dengan baik, dilayani dengan ramah, maka lakukanlah itu pada orang lain juga.