Ibuku meninggal dunia belum lama berselang, setelah hampir setahun keadaan penyakitnya berubah-ubah terus. Kehidupannya hampa sejak Ayah meninggal dunia. Tetapi tahun yang terakhir itu benar-benar berat baginya. Bagi ibuku, Marge, hidup tidak ada artinya lagi tanpa George, suaminya. Tidak ada teman hidup, lawan untuk bertengkar, teman bercanda, tidak ada lagi seseorang untuk dicintai. Memang, masih ada kami, tetapi baginya kehidupan tidak lagi seperti dulu, tanpa Ayah. Kami bisa memahaminya.
Di rumah sakit, tiba-tiba kondisi Ibu sangat menurun. Saudara perempuanku, Betsy, diberitahu. Ia bergegas pergi dari tempat kerjanya, lengsung ke rumah sakit. Sebelumnya ia masih sempat buru-buru mengirim pesan kepada suaminya, Andy. Andy berusaha menghubungi Betsy di rumah. Tetapi karena di rumah tidak ada yang menerima, ia lantas menelepon langsung ke rumah sakit. Andy tahu bahwa Ibu berbaring di lantai tujuh. Ia berusaha mengingat-ingat nomor kamarnya. 7226? 7626? 7662? Akhirnya ia menghubungi operator telepon di rumah sakit untuk minta dihubungkan. Dikatakannya bahwa ia ingin bicara dengan Marge Mueth. Diejanya nama Ibu: “M-U-E-T-H”. “Dia berbaring di kamar 3643,” kata operator itu.” Sebentar, saya sambungkan.”
Andy tidak bisa mengerti, apa sebabnya Ibu dipindahkan ke kamar lain. Andy mendengar suara pria menjawab setelah operator menyambungkan. Andy bertambah bingung, karena tidak mengenali suara itu. Ia menarik kesimpulan bahwa operator tadi salah sambung. “Maaf,” katanya, “rupanya salah sambung. Saya hendak menghubungi keluarga Mueth.” Pria itu menjawab, “Anda sudah benar. Ini George yang berbicara.” Andy kaget setengah mati. “Tidak, rasanya saya keliru disambungkan ke kamar lain. Saya mencari Marge Mueth.” Ketika menjawab, suara pria di seberang sambungan itu terdengar riang gembira. ”Itu istri saya. Saya kemari untuk menjemput pulang.”
Andy meletakkan gagang telepon dengan perasaan heran. Ia menelepon operator sekali lagi dan minta dihubungkan dengan Marge Mueth, di lantai tujuh. Operator menghubungkannya dengan kamar 7226. Betsy yang menjawab ketika telepon berdering di kamar Ibu.
Billy, anak saudaraku itu, menyimpulkan kejadian itu dengan kepolosan dan kearifan seorang anak: “Kakek datang kemari untuk menjemput Nenek pulang.” Betsy hanya menangis dan bertanya pada diri sendiri mengapa begitu lama “Kakek” baru datang.
Billy, anak saudaraku itu, menyimpulkan kejadian itu dengan kepolosan dan kearifan seorang anak: “Kakek datang kemari untuk menjemput Nenek pulang.” Betsy hanya menangis dan bertanya pada diri sendiri mengapa begitu lama “Kakek” baru datang.
Lin Hardick