Aku mengantarnya dengan mobil ke sebuah toko swalayan. Mark masuk seorang diri, sementara aku menunggu dengan sabar di depan toko sambil membaca buku. Tiga perempat jam Mark sibuk memilih hadiah-hadiah yang hendak dibeli. Akhirnya ia menghampiri tempat kasir dengan senyuman bahagia menghias wajahnya. Aku pura-pura tidak memperhatikan sementara kasir menjumlahkan harga barang-barang yang dibelinya. Kemudian Mark merogoh kantong celananya, hendak mengambil uang. Ternyata uang itu tidak ada lagi. Yang ada hanya sebuah lubang. Mark berdiri di tengah toko dengan tangan memegang keranjang tempat belanjaan dan air mata bercucuran membasahi pipi. Ia menangis tersedu-sedu. Tiba-tiba terjadilah keajaiban. Seorang wanita, yang juga sedang berbelanja, menghampiri Mark.
Wanita itu berlutut lalu merangkul anak itu sambil berkata, “kau akan sangat membuat hatiku senang jika kau mengizinkan aku mengganti uangmu yang hilang. Itu akan merupakan hadiah terindah yang bisa kau berikan kepadaku. Aku hanya minta agar kelak kau meneruskannya. Jika kau sudah dewasa, aku ingin kau mencari seseorang yang bisa kau bantu. Jika kau membantu orang itu, aku tahu perasaanmu saat itu akan sebahagia yang kurasakan sekarang.” Mark menerima uang yang disodorkan dan smabil berusaha mengeringkan air mata ia berlari secepat-sepatnya menuju tempat pembayaran. Aku rasa tahun itu kami semua menikmati hadiah-hadiah yang kami terima, tetapi Mark lebih berbahagia lagi ketika memberikannya kepada kami.
Aku ingin mengucapkan “terima kasih” kepada wanita yang baik budi itu. Aku ingin menceritakan kepadanya bahwa empat tahun kemudian Mark pergi dari rumah ke rumah, mengumpulkan sumbangan berupa selimut dan mantel untuk para korban kebakaran di Oakland dan melakukannya sambil terkenang pada wanita yang pernah menolongnya. Aku ingin bercerita kepadanya bahwa setiap kali aku menyumbang makanan kepada suatu keluarga tunawisma, aku senantiasa terkenang kepadanya. Dan aku ingin berjanji kepadanya bahwa Mark takkan pernah lupa meneruskan kemurahan hatinya.
Laurie Pines