Ketika masih remaja, mungkin waktu itu berumur sekitar 13 tahun, aku memperoleh pelajaran yang sangat berharga dari ibuku. Pelajaran yang takkan terlupakan! Pada suatu hari, ketika kami sedang berada di sebuah toko kecil, aku melihat tiga orang masuk. Tampaknya mereka sekeluarga terdiri atas seorang ibu, anak dan cucunya yang kedua-duanya perempuan. Penampilan mereka rapi. Tapi, dari pakaian yang sudah usang tampak bahwa hidup mereka tidak bisa dibilang berkecukupan. Mereka berkeliling toko sambil membawa kereta belanja. Dengan seksama mereka memilih barang-barang belanjaan yang pada umumnya tanpa merek serta bahan pangan yang diperlukan.
Ketika selesai berbelanja, kami menuju ke tempat kasir untuk membayar. Ternyata ketiga orang itu sudah lebih dulu sampai di sana. Ada seorang pembeli lain yang menunggu giliran membayar. Pembeli itu berdiri di belakang mereka dan di depan kami. Sementara aku memperhatikan keluarga itu meletakkan belanjaan mereka satu demi satu di depan kasir, aku mendengar wanita yang paling tua setiap kali menanyakan sudah berapa jumlah yang harus dibayar, karena uang mereka mungkin tidak cukup untuk membayar semuanya. Proses itu memakan waktu, dan orang yang menunggu giliran di depanku tampak mulai tidak sabar dan bahkan menggumamkan kata-kata yang aku yakin pasti terdengar oleh ketiga wanita itu.
Ketika kasir menjumlahkan semuanya, ternyata uang mereka memang tidak cukup, sehingga wanita yang paling tua lantas menunjuk berbagai bahan pangan yang terpaksa dikembalikan. Ibuku mengambil dompetnya, mengeluarkan selembar uang dua puluh dolar dan menyodorkannya kepada wanita itu. Wanita itu sangat kaget lalu berkata, ”Saya tidak bisa menerimanya!” Ibuku menatapnya dan berkata dengan pelan, “ Kenapa tidak? Bisa saja, anggap saja ini hadiah. Tidak ada sesuatu pun dalam kereta belanja itu yang tidak benar-benar Anda perlukan, jadi saya harap Anda sudi menerimanya.” Setelah mendengar kata-kata ibuku, wanita itu menerima uang yang disodorkan itu. Digenggamnya tangan Ibu sesaat dan dengan air mata berlinang-linang, ia berkata, “Banyak terima kasih. Baru sekali ini aku melihat ada orang yang murah hati seperti Anda.”
Aku masih ingat bahwa kemudian aku meninggalkan toko itu dengan mata berkaca-kaca. Kejadian itu akan senantiasa membekas dalam hati sanubariku. Masalahnya, orangtuaku harus membesarkan enam anak dan uang mereka sendiri tidak bisa dibilang banyak, meski sepanjang ingatanku kami tidak pernah mengalami kekurangan apa pun. Aku sangat behagia karena mewarisi sifat peduli ibuku. Aku juga pernah memberi dengan perasaan tulus, dan tidak ada perasaan lain yang lebih menyenangkan!
Dee M.Taylor