Kamis, 02 September 2010

○Peluang yang Nyaris Terlewatkan○

Karena ingin menyenangkan hati istriku yang hendak keluar dengan sahabatnya, aku menawarkan diri menjaga Ramanda, anak perempuan kami yang berumur tiga tahun. Aku lantas sibuk mengerjakan sesuatu, sementara Ramanda tampaknya sedang asyik sendiri di kamar yang lain. Tidak ada masalah, begitulah pikirku. Namun, kemudian suasana terasa tegang sekali. Terlalu tenang! Aku berseru, “Apa yang sedang kau lakukan, Ramanda?” Tidak ada jawaban. Aku mengualang pertanyaanku dan terdengar jawabannya,: Ah... tidak berbuat apa-apa.” Tidak berbuat apa-apa? Sedang berbuat apa anak itu? 

Aku meninggalkan meja tempatku bekerja, lari masuk ke ruang duduk. Aku masih sempat melihat Ramanda bergegas masuk ke kamar tidur. Aku megejarnya. Ia lari, masuk ke kamar mandi. Salah langkah, karena dari situ ia tidak bisa kemana-mana lagi. Aku suruh ia berpaling. Ramanda tidak mau. Dengan suara galak, sekali lagi aku menyuruhnya berpaling. Ramanda memutar tubuhnya lambat-lambat, menghadap ke arahku. Tampak dalam genggamannya sisa dari lipstick yang baru dibeli istriku. Dan seluruh muka anak itu penuh dengan warna merah menyala (tentu saja kecuali bibirnya)!
Sementara ia memandangku dengan tatapan mata ketakutan dan bibir gementar, terngiang di telingaku suara-suara yang diteriakkan kepadaku semasa aku masih anak kecil. “Bisa-bisanya kau... Kau mestinya sudah tahu bahwa... Sudah berapa kali kukatakan padamu... Itu nakal namanya...” Aku tinggal memilih saja, dampratan mana yang hendak kupergunakan terhadap Ramanda, biar dia tahu bahwa yang dilakukannya itu merupakan kenakalan. Tetapi sebelum sempat mendamprat, aku melihat baju kaus berlengan panjang yang dipakainya. Istriku yang memakaikannya, baru sejam yang lalu. Pada bagian dada baju kaus itu tertera dengan huruf besar-besar: I’M A PERFECT LITLLE ANGEL - Aku Malaikat Cilik yang Sempurna, suatu ungkapan untuk menyatakan perilaku manis tanpa cela. Kupandangi kembali matanya yang basah karena air mata. Aku tidak lagi melihat anak nakal yang tidak mau menurut. Aku kini melihat seorang anak Tuhan.. malaikat cilik yang tak ternilai harganya, penuh spontanitas yang nyaris saja kulenyapkan dari dirinya andaikan aku tadi sempat membuatnya merasa bersalah. 
“Kau kelihatan cantik sekali, Sayang! Sini, Ayah potret, biar Ibu bisa melihat betapa hebatnya wajahmu.” Aku memotret sambil bersyukur peluang untuk memperoleh penegasan kembali betapa sempurnanya malaikat cilik yang dikaruniakan-Nya kepadaku.
Nick Lazaris