Rabu, 08 September 2010

--Ku-“dengar” Kasih Sayangnya--


Sepanjang hidupku, semasa pertumbuhanku menjadi dewasa, aku tidak pernah mendengar ayahku mengucapkan kata-kata “Aku sayang padamu”. Apabila seorang ayah tidak pernah mengucapkannya sewaktu anaknya masih kecil, maka dengan bertambahnya usia si ayah akan semakin sulit saja baginya untuk mengatakannya. Terus terang saja, aku benar-benar tidak ingat kapan terakhir kalinya aku mengucapkan kata-kata itu kepadanya. Karenanya, pada suatu kali aku memutuskan untuk meyingkirkan perasaan gengsi dan melakukan langkah pertama. Dalam percakapanku dengan ayahku yang berikut melalui telepon, setelah agak sangsi sejenak, aku mengucapkannya, “Ayah...aku sayang padamu!”
Sejenak tak terdengar apa-apa, lalu Ayah menjawab dengan kikuk, “Yah, sama-samalah!” Sambil tertawa geli kukatakan, “Ayah, aku tahu Ayah sayang padaku, dan aku juga tahu bahwa jika Ayah merasa sudah sanggup, Ayah akan mengucapkan apa yang hendak Ayah katakan.” Lima belas menit kemudian ibuku menelepon. Ia bertanya dengan nada gelisah, “Kau baik-baik saja kan, Paul!”
Beberapa minggu setelah itu, Ayah mengakhiri percakapan kami melalui telepon dengan kata-kata “Paul, aku sayang padamu.” Saat itu aku sedang bekerja. Air mataku menetes ketika akhirnya aku “mendengar” kasih sayang Ayah. Sementara sama-sama menangis, kami berdua menyadari bahwa saat istimewa ini telah menjunjung hubungan ayah dan anak ke suatu tingkat yang baru.
Tidak lama setelah saat istimewa itu, ayahku menjalani operasi jantung yang nyaris saja merenggut nyawanya. Sejak itu aku sering merenung: Andai saja aku tidak memulai dan Ayah meninggal dunia setelah dioperasi, aku takkan pernah bisa “mendengar” kasih sayangnya.
Paul Barton